Jumat, 21 Oktober 2016

PERAN CENDIKIAWAN DALAM DUNIA POLITIK





KELOMPOK CENDIKIAWAN
PERAN CENDIKIAWAN DALAM DUNIA POLITIK

BAB 1

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Sering kita dengar kata yang satu ini, yaitu ‘CENDIKIAWANcendekiawan  ada di sekeliling kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Intelektual atau Cendekiawan pada dasarnya merupakan bagian dari ilmuwan. Yang membedakan antara cendekiawan dengan ilmuwan terletak pada produk ragam masalah yang dihasilkan. Jika ilmuwan menghasilkan ilmu atas pemasalahan dan mencari tujuan praktis serta moralis yang sesuai dengan realisme.
Sedangkan cendekiawan sebaliknya, ia menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada. Di sini perlu diberi penekanan terhadap kata ”tulus”, karena tidak semua orang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat boleh dikategorikan sebagai intelektual atau cendekiawan. Ada ilmuwan yang bisa dikategorikan sebagai intelektul atau cendekiawan, tapi sebaliknya seorang intelektual atau cendekiawan tidak bisa dikategorikan sebagai ilmuwan.
Tapi jika menilik arti yang kedua dari kamus bahasa Indonesia, berarti siapa saja yang terus belajar meningkatkan kemampuan berpikirnya dapat dikatakan sebagai cendekiawan. Intinya setiap orang yang rajin belajar adalah termasuk golongan cendekiawan. Karena belajar adalah proses berpikir yang akan terus berkembang sesuai usaha yang dilakukan. Apakah benar begitu ?
Kalau menurut kami bisa jadi benar, karena pada dasarnya setiap orang bisa menjadi cendekiawan. Masalahnya, cendekiawan bukan seperti gelar akademis yang bisa didapatkan dari hasil mendalami bidang studi tertentu atau karena berhasil menemukan suatu metoda baru. Artinya seseorang bisa disebut cendekiawan bila ada pengakuan secara tidak resmi dari golongan tertentu di dalam masyarakat. “Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”

B.     Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan  angkat pada makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan  kelompok cendikiawan?
2.      Peran dan fungsi kelompok cendikiawan dalam dunia politik?

C.    Tujuan Pembahasan
            Makalah ini bertujuan untuk:
a.    Memenuhi tugas dari mata kuliah Perbandingan Politik
b.    Mengetahui apa yang dimaksud dengan kelompok cendikiawan
c.    Mengetahui dan memahami fumgsi dan peran Cendikiawan dalam masyarakat.
D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini agar kami dan pembaca lebih mengerti dan memahami fungsi dan peran kelompok Cendikiawan dalam masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kelompok Cendikiawan
Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "cendekiawan", yaitu:
1.      Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku,
2.      Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".
3.      Dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Cendekiawan adalah orang yang memiliki ciri-ciri bermoral tinggi (termasuk di dalamnya orang yang bergelar akademik), beriman, berilmu, ahli/pakar, memiliki kepekaan sosial, peduli terhadap lingkungan, hati-hati penuh pertimbangan, jujur, rendah hati, adil, dan bijaksana. Oleh beberapa pemikir sosial dan politik dijelaskan dalam bahasa masing-masing, misalnya seperti dilakukan oleh Julien Benda, Karl Mannheim,Bung Hatta, dan A.Gramsci, dll.
Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:"Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
Menurut Julien Benda (1867-1956) dalam karyanya La Trihason des Clercs (1927) mengartikan cendekiawan sebagai seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis serta para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil-hasilnya) seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltair dan Montesquieu.
Mereka menolak gairah politik dan komersialisasi, Antonio Gramsci memberi istilah Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual Tradisioanal merupakan Intelektualnya telah terkontaminasi atau tidak lagi bersifat murni demi rakyat banyak karena tidak mampu menyampainkan suatu kebenaran yang menjadi tugasnya karena telah terkooptasi kedalam ranah kekuasaan. Sedangkan Intelektual organik merupakan pemikir yang dihasilkan oleh setiap kelas secara alamiah walaupun tidak melalui jenjang-jenjang pendidikan Formal.
Dalam perbincangan akademis telah dibedakan antara lapisan inteligensia dengan kelompok intelektual. Istilah pertama berasal dari Rusia (istilah itu mula-mula diperkenalkan oleh penulis P.D.Boborykin pada tahun 1860-an) kaum inteligensia adalah “suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang secara profesional terlibat dalam permasalahan mental, terutama dalam bentuknya yang kompleks dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyabaran budaya”. Definisi ini mencakup juga ulama, seperti dalam masyarakat Islam, kedalam kelompok inteligensia.
B.     Fungsi dan Peran Kelompok Cendikiawan
Fungsi cendekiawan menurut Sharif Shaary menegaskan bahawa seorang "cendekiawan" bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia "tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan".
Dalam Pidatonya Bung Hatta menggambarkan fungsi dan peran Cendikiawan yaitu sebagai kaum intelektual yang mempunyai tanggung jawab moril terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggungjawab itu. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.
Disini cendekiawan harus dituntut menjadi agen perubahan dan pengontrol kebijakan pemerintah agar selau berpihak pada rakyat kecil dan menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral. Kaum cendikiawan mengambil jarak dengan proses-proses politik, bukan sebaliknya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mendukung kubu politik tertentu. Cendekiawan memainkan peranannya secara profesional bebas dari keberpihakan kepentingan individual dan kelompok. Satu-satunya keberpihakan cendekiawan adalah kepada nilai-nilai keadilan, keobyektifan/ keapa-adaan, konsistensi, kesistematikan, kearifan, dan nilai-nilai normatif keilmuan lainnya yang bebas dari interes-interesan.
Edward W Said lebih menegaskan bahwa secara ideal cendekiawan mewakili emansipasi dan pencerahan, peran cendekiawan senantiasa terikat pada dan harus tetap jadi bagian organik dari pengalaman masyarakat, dan menolak bekerja sama dengan kekuatan yang masih saya pandang sebagai biang penderitaan rakyat. Dosa paling besar cendekiawan adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya.
C.    Pengertian Intelektual
Dalam kamus oxford andvend learner’s dictinory orang-orang yang mempunyai kemampuan nalar yang baik, yang tertarik pada hal-hal rohani. Ciri khas dari seorang intilektual adalah kemampuan berpikir bebas dan mengemukaan kebenaran. Sedangkan Intelektual dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
 Adapun menurut para ahli antara lain sebagai berikut, Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan sesorang untuk meperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan lingkungan dan maslah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991). Adrew Crider (dalam azwar, 1996) mengatakan bahwa intelektual itu bagaikan listrik, mudah diukur tapi mustahil untuk didefenisikan. Kalimat ini banyak benarnya. Tes intelegensi sudah dibuat sejak sekitar delapan decade yang lalu, akan tetapi sejauh ini belum ada defenisi intelektual yang dapat diterima secara universal.
Menurut  Alfred Binet (dalam irfan, 1986) mengemukakan bahwa intelegensi adalah suatu kapasitas intelektual umum yang antara lain mencakup kemampuan-kemampuan  menalar dan menilai, menyeluruh, mencipta dan merumuskan arah berfikir spesifik, menyesuaikan fikiran pada pencapaian hasil akhir, memiliki kemampuan mengeritik diri sendiri. Sedangkan menurut Spearman (dalam irfan, 1986; mangkunegara, 1993) aktifitas mental atau tingkah laku individu dipengaruhi oleh dua factor, yaitu factor umum dan factor khusus dengan kemampuan menalar secara abstrak.  David Wechsler (dalam Azwar, 1996) mendefenisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.
D.    Kebebasan Intelektual
a.       Problema Intelektual
Ketika berbicara tentang apa problema intelektual yang dihadapi kaum cendekiawan saat ini, maka setidaknya dapat ditemukan dua masalah mendasar, baik disadari atau tidak. Pertama, adalah problema keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber dari problema epistemologi, dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai pendekatan untuk memahami berbagai fenomena eksistensial, baik manusia (jati diri), dan masyarakatnya (kultur), maupun alam semesta (natur). Kedua, problema moral-sosial, masalah yang menyangkut dimensi moralitas, dan etik cendekiawan itu sendiri, bagaimana mengaktualisasi tanggung jawab, komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya dalam konteks kehidupan riil masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun kebudayaan.
b.      Relevansi Kebebasan
Menghadapi kedua problema intelektual cendekiawan yang diuraikan di atas, diperlukan jawaban yang satu sama lain konteksnya berbeda. Jawaban atas problema epistemologi adalah bagaimana cendekiawan mampu menciptakan kebebasan dalam dirinya, melalui kreativitas berpikir dan pemikiran-pemikiran produktif sehingga ia dapat terbebaskan dari belenggu sejarah pemikiran. Kegenitan dan kegelisahan intelektual lebih baik disalurkan pada pemikiran alternatif, betapapun tidak ada gunanya secara politis.
Sedangkan jawaban atas problema moral-sosial cendekiawan adalah bagaimana mereka mampu membebaskan diri dari pengaruh tangan-tangan kekuasaan-birokratik-teknokratik. Jawaban ini berarti dengan tetap memelihara komitmen untuk tetap berada diluar struktur lembaga kekuasaan. Problema moral-sosial menuntut adanya cendekiawan bebas sebagai kelompok sosial independen yang memiliki kritisme sosial. Eksistensi kelompok cendekiawan yang bebas lepas dari praktik politik-birokratik-teknokratik ini sangat penting sebagai perimbang kekuatan cendekiawan milik negara. Tetapi pembebasan diri secara intelektual dan politis terhadap institusi kekuasaan saja, tidaklah cukup.
Pembebasan secara institusional-politis perlu dibarengi dengan pembebasan sikap kultural tertentu, dalam konteks ini Anharudin (seorang cendekiawan muda Indonesia) menawarkan konsep hipotetik bagaimana problema epistemologi itu dapat dipecahkan, yaitu konsep pembebaskan cendekiawan dari belenggu sejarah pemikiran, baik berupa ilmu-ilmu pengetahuan empiris maupun ideologi yang akan menjadi salah satu alternatif bagaimana proses pembebasan itu dilakukan dan berarti peluang bagi setiap cendekiawan untuk menciptakan ilmu sendiri, yang paling cocok bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Kebebasan dimaksudkan disini adalah suatu konsep yang mengacu pada kondisi subjektif, yaitu kebebasan berpikir pada tingkat subjektif-individual, sebagai pembiasan dari penguasaan keilmuan, kearifan, kesadaran eksistensial dan pemahaman filosofis tentang jati dirinya, dan tentang berbagai persoalan kehidupan. Dengan kata lain, kebebasan cendekiawan adalah “suatu ruang kosmik dalam dirinya dimana ia dapat bebas untuk berpikir dan berpikir bebas”. Itu berarti bahwa dalam dunia ini cendekiawan dapat, boleh, dan bisa untuk tidak lagi terjerat oleh perangkap-perangkap kelembagaan dan normatif masyarakat. Ia boleh dan bebas dari norma-norma, baik norma sosial, agama,maupun budaya.
Dalam dunia ini cendekiawan dapat berenang bebas, mengembangkan pemikiran baru, menciptakan kebenaran dan nilai-nilai baru, mempertanyakan kembali makna kebenaran yang telah mapan dan dianut oleh orang-orang kebanyakan. Jadi, pada  tingkat awal misi cendekiawan adalah membebaskan dirinya dari fragmentasi dunia dan ketidakmasuk akalan eksistensi dirinya. Kemudian setelah itu, misi cendekiawan adalah membebaskan orang lain secara berlahan dari kemelut dan belenggu dunia keterbatasan, menuju dunia kebebasan yang sama.
E.     Tanggung Jawab Kelompok Cendikiawan
Menurut Mohammad Hatta, seorang cendekiawan dengan sendirinya memikul tanggung jawab yang besar, lebih besar dari golongan masyarakat lainnya, karena kualitasnya sebagai yang terpelajar. Cendekiawan memiliki kemampuan untuk menguji yang benar dan yang salah dengan pendapat yang beralasan berdasarkan ilmunya. Disini kaum intelegensia unggul, pertama-tama karena keterpelajarannya, tapi ilmu itu sendiri yang memberi kualitas kepada keterpelajarannya, tidak hanya terdiri dari keterampilan dan kecanggihan berolah pikir. Ilmu, secara instrinsik mengandung nilai-nilai moral. Karena itu, maka kaum intelegensia juga memiliki tanggung jawab moral, selain intelektual. Moralitas itu berkaitan dengan keselamatan masyarakat, tidak saja sekarang tetapi juga kemudian.
Menurut Hatta dengan mengutip Julien Benda, contoh perwujudan tanggung jawab yang dimaksud yaitu, ”Memberi petunjuk dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan dan bukannya malahan menyerah diri kepada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing”.Dan merupakan salah satu ciri pokok kecendikiawanan adalah keterlibatannya. Cendekiawan adalah golongan yang berpikir, karena rasa keterlibatannya, sebaliknya keterlibatannya tak terpisahkan dari keberpikirannya. Berikut ini tanggung jawab kelompok cendikiawan:
a.       Ideologi dan Tradisi
Intelektual yang berpendapat bahwa dunia dapat diterangkan secara rasional, dapat pula diubah selama ia masih rasional. Hal ini menjadi penting bila dibandingkan dengan semangat konservatif, yaitu semangat melindungi suatu tatanan atau nilai-nilai dengan alasan bahwa itulah yang terbaik hingga saat ini, atau bahkan selamanya. Tatanan atau nilai-nilai yang dijadikan idola tersebut dikemas dalam suatu sistem pemikiran yang disebut ideologi. Sikap ideologis bukan berarti tanpa pemikiran rasional, ideologi-ideologi besar yang dikenal dalam sejarah peradapan manusia, semua memiliki rationale yang mendalam dan filosofis.
Masalah yang dihadapi ideologi ini, dalam kaitannya dengan intelektualisme adalah keengganannya untuk berubah. Dan agama bukanlah satu-satunya sumber ideologis, karena masih ada tradisi serta ideologi kenegaraan. Tradisi tidak harus mengacu kepada sistem nilai atau pemikiran tertentu yang komprehensif, tetapi dapat berupa adat istiadat yang mengatur tingkah laku orang dalam peristiwa-peristwa tertentu secara sporadis. Misalnya, ketentuan dengan siapa orang tidak boleh kawin atau basarnya mas kawin. Sementara yang dimaksud dengan ideologi kenegaraan adalah hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut Undang-Undang Dasar dan doktrin resmi pemerintah.
Sikap ideologis kebanyakan masyarakat, pada gilirannya juga bukan tanpa pembenaran rasional, seperti yang dikandung agama-agama dan ideologi negara. Namun, yang ingin ditekankan adalah kecenderungan untuk berhenti berpikir rasional atas dasar doktrin ideologis, yang pada akhirnya tidak boleh atau tidak berani berpikir lebih lanjut karena akan membahayakan ideologi tersebut.

Apabila konflik antara intelektulisme dan ideologi memang menyangkut yang sedemikian mendasar, seperti cara berpikir ilmiah dan ideologis, maka ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, perkembangan kebudayaan belum mencapai tingkat dimana masyarakat mampu dan memilih untuk berpikir ilmiah. Kedua, masyarakat memang memilih berpikir ideologis untuk membela agamanya, karena takut membuat kesalahan dan akibatnya dihukum Tuhan.
b.      Perubahan Masyarakat
Dengan asumsi bahwa intelektual bekerja secara jujur, dan untuk kepentingan masyarakat banyak, maka kehadiran mereka sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena perubahan masyarakat yang terus-menerus terjadi, dan tidak pernah dicegah oleh ideologi negara maupun agama, memerlukan bimbingan intelektual agar tidak menimbulkan kekacauan. Akan menjadi sangat ironis apabila negara dan agama membiarkan perubahan tata kehidupan terus berlangsung, tetapi tidak menyodorkan jalan keluar bagi masalah-masalah yang ditimbulkannya.
Dalam konteks pemikiran keagamaan, peranan intelektual diperlukan karena Tuhan tidak lagi menurunkan petunjuk-petunjuk baru. Karena itu, apabila agama menolak peranan intelektual, berarti ia tidak bertanggaung jawab terhadap perubahan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, agama akan justru menjadi bagian dari masalah sosial. Pada kenyataaannya, agama Islam cukup tanggap terhadap masalah sosial yang timbul terhadap masalah sosial yang timbul dalam kehidupan modern sekarang, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan atau ekonomi Islam.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada perbedaan subtansial dan berimplikasi praktis, bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan ekonomi bukan-Islam. Bila perbedaan itu tidak ada, maka upaya itu hanya menjadi simbol sikap apologetis dan eksklusivisme orang Islam.


 
F.     Konteks Cendekiawan
Cendekiawan sendiri bukan hanya terfragmentasi dalam hal yang berkaitan dengan fungsi dan peranannya ditengah kepentingan umum dan kebaikan masyarakat, namun demikian halnya saat membicarakan cendekiawan dalam konteks posisi dan keberadaannya ditengah masyarakat.

a.       Cendekiawan Terpisah
Cendekiawan yang memisahkan diri adalah mereka yang muncul melampaui kepentingan diri sendiri dan berbicara bagi kepentingan umum, membuat pertimbangan politis dan kultural atas dasar prinsip-prinsip universal bukan atas dasar prinsip-prinsip yang telah dikaburkan oleh kelas, status, dan kekuasaan.
Dalam arti ini, “pendidikan” yang diberikan oleh cendekiawan itu mengangkat publik keluar dari suatu anonimitas dan partikularitas, untuk masuk ke dalam diskursus universal, adalah para profesional dalam peran mereka sebagai cendekiawan yang memisahkan diri untuk memberikan kriteria penilaian mengenai apa yang merupakan masalah-masalah sosial, dan dari masalah itu, kemudian menjadi tugas cendekiawan yang berperan sebagai pakar, memberikan perbaikan terhadap masalah-masalah itu, supaya masyarakat dapat memecahkannya sendiri dengan bantuan para profesional.
Sebagai suatu pembentuk opini publik yang bertanggung jawab secara moral, cendekiawan yang memisahkan diri lalu terkait pada publik yang melalui itu perannya dibentuk, keduanya baik cendekiawan maupun publik, saling bergantung satu sama lain akan tetapi relasi ini tidaklah simetris. Oleh karena ada kecenderungan selain idealisme dan pertanggungjawaban moral yang mendasari cendekiawan yang memisahkan diri itu; “kepentingan diri sendiri”- sebagai suatu kelompok profesional kelas menengah.
b.      Cendekiawan Pergerakan
Cendekiawan pergerakan dibentuk dalam relasi yang langsung dengan publik, suatu interaksi yang sedikit banyak langsung berhadapan dengan publik yang telah dikenal. Relasi itu akrab dan langsung, yang dalam istilah Gramsci disebut sebagai relasi organis. Baik cendekiawan maupun publik eksis tidak dalam perbedaan mencolok satu dengan yang lainnya, yang satu akan segera menarik perhatian yang lain. Jadi, cendekiawan pergerakan berbicara dalam mode kolektif, untuk dan bagi kolektif; cendekiawan publik dilain pihak berbicara secara individu, meskipun pada saat menjelaskan apa yang dalam editorial dan forum akademik digunakan kata “kita”.

c.       Cendekiawan Aristokratik
Mereka adalah para cendekiawan yang mencoba melawan perkembangan-perkembangan bentuk kesusastraan populer seperti surat kabar harian dan majalah mingguan dengan adanya kemungkinan-kemungkinan komersialisasi, karena semakin meluasnya publik penbaca dan pendidikan formal, dengan cara melalui pers persseorangan/swasta dan jurnal-jurnal sastra yang serius tapi sirkulasinya kecil. Mereka juga mempunyai relasi yang erat dengan publik. Mereka berbicara kepada dan menulis untuk para calon anggota dalam kelompok kecilorang terdidik, apakah itu kelompok elite yang tradisional ataukah garda depan radikal. Dengan kelompok seperti itulah cendekiawan aristokratis berbagi nilai-nilai estetika umum, kiasan-kiasan umum pula; pelestarian atau pembaharuan budaya (tinggi).

G.    Cendikiawan Dan Kekuasaan
Disini perlu dijelaskan bahwa ada kaitannya antara cendikiawan dan kekuasaan yang pada akhirnya menentukan arah sebuah kebijakan pemerintah. Banyak dari para pemikir yang justru ragu akan ke kritisan dan kepedulian para intelektual atau cendikiawan ketika mereka menduduki suatu jabatan di pemerintah. Di situ kemungkinan besar kaum intelektual kehilangan spirit dan karakternya yang khusus, yaitu sebagai orang-orang yang bertanya dan kritis.
Terlihat kecenderungan di mana peran para cendikiawan itu berubah menjadi pelaksana-pelaksana tertentu dari sebuah mesin politik yang besar . Di sana dia bisa berperan menjadi seorang teknokrat , birokrat atau professional. Ada pula kemungkinan mereka melakukan kompromi politik terhadap suatau kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat ramai, sehingga ruang gerak untuk melakukan wacana intelektual menjadi sempit dan terbatas. Padahal wacana semacam itu bisa mengikutsertakan keseluruhan masyarakat serta menjadi sarana bagi pendidikan politik mereka . Kehadiran kaum cendikiawan dalam ranah politik kecil kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini akan membuatnya tenggelam, sekedar menjadi kaki tangan kekuasaan politik alias budak-budak kekuasaan (servants of power).
Itulah salah satu alasan dari Soedjatmoko mengatakan bahwa bagaimanapun para cendikiawan harus tetap berada di luar kekuasaan, agar mereka tidak terkooptasi kedalam ranah kekuasaan yang pada akhirnya menjauhkan merekan dari membela rakyat menjadi membela partai politik yang di ikutinya. Takbisa terhindarkan mereka akan melegitimasi kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut merugikan atau menguntungkan masyarakat umum. Sebaliknya jika posisi mereka bebas atau diluar sistem atau pemerintah maka dengan posisi yang bebas itulah, seorang intelektual memiliki kekuatan (daya tawar) untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Posisi seorang intelektuak adalah diatas menara yang paling tinggi yang tak boleh terjangkau oleh siapaun, kecuali dirinya sendiri. Artinya, bahwa siapapun tidak boleh mempengaruhi apalagi membeli pemikiran seorang intelektual dalam menyampaikan kebenaran.

H.    Tugas Cendekiawan?
Seperti dijelaskan dimuka, kelemahan memandang cendekiawan sebagai menara gading gading, oposisi biner terhadap kekuasaan dominatif dan status quo menghilangkan makna-makna pergerakan di masyarakat yang justru melihat proyek neolib dalam posisi berhadap-hadapan. Potret kreatifitas kelompok seperti sedulur sikep sebagaimana di atas, dan potret kredit union seperti di Kalimantan Selatan memperlihatkan wajah baru gerakan akar rumput. Bagi kalangan gerakan sosial seperti NGO, usaha perekonomian nyaris masih dipandang sebelah mata. Gerakan ekonomi sebagian besar masih dilihat sebagai kapitalisme yang jahat, berbeda dengan sifat voluntaristik mereka yang dianggap sebagai usaha nirprofit

Cendekiawan jika masih mengacu seperti disampaikan oleh Edward.W Said juga masih menunjukkan seolah-olah kerja “amatiran (amateur) dipandang secara oposisional dengan kerja profesional. Bagi kerja-kerja neolib, tidak ada kerja amatiran, sementara cendekiawan yang masih merasa memiliki anugerah untuk melakukan kerja-kerja gagasan seringkali menghindari bahkan mencerca apa yang sering disebut sebagai sikap kerja profesional. Menunjuk kepada dua kasus yang dikemukakan di atas, sikap oposisi biner ini tidak berlaku. Di Sedulur Sikep, dan Dayak Kaharingan Kalimantan Selatan, gerakan pengorganisasian massa-rakyat dapat berbarengan dengan kerja-kerja profesional.

Jadi Poin terakhir ini pada dasarnya lebih menekankan pentingnya melihat gelombang kekuatan akar rumput yang semakin terfragmentasi berhadapan dengan gelombang besar neoliberalisme. Kata kunci dari poin ini adalah diperlukan sebuah pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai dilema-dilema yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di arus bawah dan potensi-potensinya sebagai gerakan perlawanan. Fakta ini tidak lantas mengurangi seluruh keanekaragaman potensialitas yang dimiliki masing-masing kelompok akar rumput di Indonesia. Sementara itu, untuk melihat kinerja gerakan akar rumput harus bisa menambah informasi mengenai gerakan-gerakan global sebagaimana diutarakan diatas. Saya kira tugas kecendekiawanan berada di areal ini. Ini adalah sikap untuk menghubungkan kebutuhan riel yang kini dirasakan oleh masyarakat akar rumput dengan seluruh konstelasi global yang terjadi saat ini. Dengan berani melakukan pemetaan bersama secara kritis barangkali akan terjadi usaha-usaha yang lebih berdampak luas. Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, disiplin ilmu politik, sosiologi, antropologi dan hukum harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam payung lintas disiplin. Pengertian mengenai komunitas-komunitas tradisional harus kita lepaskan dari jebakan perspektif yang dipenuhi prasangka. Faktanya apa yang sering kita nyatakan sebagai tradisional tidaklah berarti mengacu kepada sekumpulan orang yang terisolasi, konservatif dari berbagai segi dan sama sekali menolak perubahan-perubahan baru.

Cara lama dalam melihat kompleksitas masyarakat di wilayah akar rumput segera kita hilangkan. Misalnya kajian mengenai kekuatan-kekuatan komunal saat ini lebih dilihat semata-mata sebagai cermin kebodohan, ketidaktahuan suatu komunitas berhadapan dengan kekuatan eksternal vis a vis kemajuan dan modernitas. Faktanya, kelompok-kelompok ini memiliki potensi berkembang secara dinamis, berdiri diantara kekuatan-kekuatan komunal yang terjaga sambil secara lentur melakukan perubahan internal untuk menjawab tantangan-tantangan baru. Misalnya seperti ditunjukkan oleh gerakan petani Samin, “Pembangkangan” yang pernah mereka lakukan selama akhir abad ke-19, terhadap pemerintahan kolonial menjadi referensi yang mereka hidupkan secara turun menurun dan sumber bersama mengatasi penetrasi-penetrasi eksternal. Cara, sikap hidup dan norma-norma bersama yang mereka pertahankan sampai hari ini membuktikan keliatan sosok petani di Indonesia, khususnya di Jawa.

Kajian seperti James T. Scott memang memandang siasat dan resistensi sebagai senjata orang-orang kalah. Kritik terhadap Scott lebih diutarakan sebagai romantisasi perlawanan, dengan mamandang seolah-olah orang kalah masih memiliki harapan untuk bertahan dan mempertahankan posisinya. Akan tetapi Scott yang terlampaui romantis menepikan fakta bahwa pada dasarnya gerakan modal yang beraliansi dengan negara sekonyong-konyong tidak dapat menaikkan derajat orang-orang kalah ke dalam kelas yang lebih tinggi. Akan tetapi gagasan Scott bagaimanapun memberi perspektif baru dalam menginvestigasi secara antropologis geliat-geliat politik akar rumput. Keharusan bagi cendekiawan menurut saya adalah melihat secara lebih investigatif dan etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan derajat mereka lebih manusiawi. Kedengarannya memang cukup romantis, akan tetapi jika praktik ini dilakukan dengan serius, dengan sendirinya akan membawa sejumlah implikasi teorititik yang tidak sedikit. Ilmu sosial bagaimanapun adalah kuasa baru yang tidak lagi dipandang sebagai pengetahuan netral. Kuasa ilmu sosial memberi legitimasi, dan inspirasi, ia juga bisa menjadi bagian dari “sikap apriori” dan aposteriori yang dapat melanggengkan status quo maupun merubah kondisi yang sudah mapan. Jadi masalahnya sekarang mau dibawa kemanakah ilmu sosial bagi perubahan sosial saat ini?

I.       Cendekiawan dan Gejolak Politik
Para cendekiawan bisa mempengarhui perpolitikan dalam negeri, Mata kita jangan hanya tertuju kepada politikus saja, karena gerak kaum cendekiawan selalu terkait gejolak kekuasaan. Apalagi, posisi cendekiawan sangat strategis, dikagumi masyarakat karena sumbangsih pemikirannya, sekaligus dicari politikus untuk memperkuat jaringan kekuasaan. Politik 2015 menjadi arena strategis kaum cendekiawan di tengah gejolak politik yang makin seru dan seksi ini. 
Sejatinya, di tangan cendekiawan, dalam pandangan Yudi Latif (2005), tanggung jawab menyelamatkan bangsa ini disandarkan. Tanggung jawab cendekiawan adalah menstransformasi populisme dari kesadaran diskursif menjadi kesadaran praksis. Problem kehidupan kita adalah keterbelakangan rakyat dan keengganan kaum elite membebaskan diri dari masa lalu dan status quo. Politisasi masa lalu dan mistifikasi status quo harus dihentikan demi memberi jalan teriptanya rekonsiliasi dan rekontruksi nasional. Inilah saatnya bagi cendekiawan Indonesia dari berbagai kelompok menuju panggilan sejarah bersama Untuk melayani dan menyelamatkan bangsa.
 Begitu besarnya peran para cendekiawan. Namun, kaum mereka justru sedang mengalami krisis eksistensial mendalam. Krisis eksistensial ini tidak bisa dilepaskan organisasi kaum cendekiawan sering mendapatkan sokongan dari politik kekuasaan. Gus Dur pernah mengkritik keras perilaku cendekiawan yang tergabung dalam ICMI karena telah berselingkuh dengan kuasa Orde Baru.
Cendekiawan harus meneguhkan kembali perannya sebagai problem solver terhadap kondisi kebangsaan, namun juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam menumbuhkan iklim intelektualisme masyarakat bangsa. Hal ini sangat penting, karena sistem berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya citra.  Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’i (2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, ia akan terjebak hegemoni orang lain karena tingkah laku seharinya dipasung citra yang dibangun bangsa lain. Dikarenakan ia dipasung, gerak langkah kehidupannya secara universal telah ditaklukkan hegemoni citra budaya lain. Inilah yang terjadi dalam bangsa Indonesia.
J.      Gejolak Politik 2015
Salah satu tantangan serius kaum cendekiawan adalah gejolak politik Pilkada serentak 2015. Sudah banyak doktor dan profesor yang terjerat kasus korupsi. Ini bukti integritas dan moralitas kaum cendekiawan sudah tergadaikan. Kaum cendekiawan juga sudah banyak yang berlabuh dalam pusaran politik kekuasaan dari serius dan tekun dalam dunia pendidikan. Terbukti, kaum cendekiawan sudah sibuk dengan jabatan di birokrasi dan jabatan kampus, sehingga tugas “ngampus” sering ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Nikmat dalam pusaran politik kekuasaan menjadikan kaum cendekiawan semakin jauh dengan dunianya sendiri. Ia terasing dengan dunia akademik dan pengabdian masyarakat, sehingga ketika sibuk dalam pusarakan politik, mudah sekali ia melalaikan integritas akademiknya.
Korupsi menjadi kebiasaan, hilangnya moralitas sudah tak dihiraukan. Dalam konteks inilah, ada dua hal pokok yang menjadi sebuah pertanggungjawaban kaum cendekiawan. Pertama, membawa kembali doktrin agama sebagai pembebas. Oleh karena cendekiawan identik dengan kaum pencerah, sudah saatnya kaum cendekiawan menghadirkan tradisi intelektualnya sebagai kekuatan sosial-revolutif.
Cendekiawan harus berani bergerak melawan kampanye hitam dan runtuhnya etika politik. Dalam mengadang laju hegemoni globalisasi, cendekiawan harus mampu mengimplementasikan ajaran ilmunya tersebut untuk membangun moralitas manusia global. Dengan adanya etika sosial yang hadir ditengah globalisasi, kesenjangan ekonomi bisa diminimalkan, bahkan dngan konsep-konsep kesederhanaan dan kedermawanan. Manusia global yang mempunyai etika sosial keagamaan akan mampu membuka ruang publik (public sphere) yang progresif dan solutif. Kedua, menyangkut problem kebangsaan. Dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan kaum cendekiawan banyak terlibat kejahatan bernama korupsi. Bahkan, seorang rektor juga terlibat dalam penggelapan uang negara. Kalau demikian, di manakah posisi cendekiawan? Jawabannya, bagi penulis jelas.
Cendekiawan harus hadir melakukan gerakan baru yang lebih profesional. Selama ini gerakan kaum endekiawan lebih mengarah pada hal-hal yang bermisi keimuan saja. Sekarang sudah saatnya melebarkan sayap dalam bergerak untuk melakukan asosiasi menentang korupsi. Cendekiawan dalam konteks ini jangan segan-segan melakukan statement kritisnya terhadap kebijakan negara menyangkut korupsi. Cendekiawan juga harus berani terjun ke bawah, memberikan pencerahan bagi kaum birokrat dan rakyat tentang masa depan Indonesia tanpa korupsi. Dua hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial yang harus segera diperhatikan kaum cendekiawan.
Sebagaimaa yang dikatakan Gramsci (1971), faktor penentu apakah ia dikatakan sebagai cendekiawan atau seorang pekerja manual terletak dalam “fungsi sosial”-nya. Fungsi sosial dapat dipahami cendekiawan sebagai sebuah bagian integral dari matrialitas yang konkret dari proses-proses yang membentuk masyarakat. Fungsi sosial kaum cendekiawan, dalam hal ini terletak pada fungsinya sebagai perumus dan artikulator bagi problematika kehidupan yang melilit kemanusiaan universal dewasa ini. Dalam analisis Machiavelli—melalui karya termasyhurnya The Prince—peran kaum cendekiawan dalam perubahan yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) (Garon, 2003). Nabi-nabi ini tak lain adalah individu-individu di luar negara yang berupaya dan berperan membuka keran-keran ruang kebebasan publik. Mereka merupakan individu yang peduli untuk berjuang menantang aturan lama dan mempromosikan institusi politik baru, kendati mereka tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan tidak memiliki tentara (no policy, no army). Meski minoritas, kaum cendekiawan harus berani membuka mata dunia, menyebarkan ide-ide baru untuk melakukan perubahan.





















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Disini cendekiawan harus dituntut menjadi agen perubahan dan pengontrol kebijakan pemerintah agar selau berpihak pada rakyat kecil dan menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral. Kaum cendikiawan mengambil jarak dengan proses-proses politik, bukan sebaliknya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mendukung kubu politik tertentu. Cendekiawan memainkan peranannya secara profesional bebas dari keberpihakan kepentingan individual dan kelompok. Satu-satunya keberpihakan cendekiawan adalah kepada nilai-nilai keadilan, keobyektifan/ keapa-adaan, konsistensi, kesistematikan, kearifan, dan nilai-nilai normatif keilmuan lainnya yang bebas dari interes-interesan.
Cendekiawan harus meneguhkan kembali perannya sebagai problem solver terhadap kondisi kebangsaan, namun juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam menumbuhkan iklim intelektualisme masyarakat bangsa. Hal ini sangat penting, karena sistem berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya citra.  Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’i (2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, ia akan terjebak hegemoni orang lain karena tingkah laku seharinya dipasung citra yang dibangun bangsa lain. Dikarenakan ia dipasung, gerak langkah kehidupannya secara universal telah ditaklukkan hegemoni citra budaya lain. Inilah yang terjadi dalam bangsa Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA

Tim Editor Masika. 1996. KEBEBASAN CENDEKIAWAN, Yogyakarta; Yayasan bentang budaya dan pustaka Republika.
Eyerman, Ron. 1996. CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
Feith, Herbert dan L. Castles. Ed. 1988. “Pengantar”, dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,      Jakarta: LP3ES, pp.xil-lxvii
Ron Eyerman, CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Yayasan Obor Indonesia, 1996….hlm 142-149