KELOMPOK
CENDIKIAWAN
PERAN
CENDIKIAWAN DALAM DUNIA POLITIK
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sering kita dengar kata yang satu ini, yaitu ‘CENDIKIAWAN’ cendekiawan ada di sekeliling kita, mungkin
terkadang kita tidak menyadari itu. Intelektual atau Cendekiawan pada
dasarnya merupakan bagian dari ilmuwan. Yang membedakan antara cendekiawan
dengan ilmuwan terletak pada produk ragam masalah yang dihasilkan. Jika ilmuwan
menghasilkan ilmu atas pemasalahan dan mencari tujuan praktis serta moralis
yang sesuai dengan realisme.
Sedangkan
cendekiawan sebaliknya, ia menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas
terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada. Di sini
perlu diberi penekanan terhadap kata ”tulus”, karena tidak semua orang yang
menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat boleh
dikategorikan sebagai intelektual atau cendekiawan. Ada ilmuwan yang bisa
dikategorikan sebagai intelektul atau cendekiawan, tapi sebaliknya seorang
intelektual atau cendekiawan tidak bisa dikategorikan sebagai ilmuwan.
Tapi jika menilik arti yang kedua
dari kamus bahasa Indonesia, berarti siapa saja yang terus belajar meningkatkan
kemampuan berpikirnya dapat dikatakan sebagai cendekiawan. Intinya setiap orang
yang rajin belajar adalah termasuk golongan cendekiawan. Karena belajar adalah
proses berpikir yang akan terus berkembang sesuai usaha yang dilakukan. Apakah benar begitu ?
Kalau menurut kami bisa jadi benar, karena pada
dasarnya setiap orang bisa menjadi cendekiawan. Masalahnya, cendekiawan bukan
seperti gelar akademis yang bisa didapatkan dari hasil mendalami bidang studi
tertentu atau karena berhasil menemukan suatu metoda baru.
Artinya seseorang bisa disebut cendekiawan bila ada pengakuan secara tidak
resmi dari golongan tertentu di dalam masyarakat. “Belajar di universitas bukan
jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir
yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk
kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan
ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara
dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di
peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan
menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang
yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun
menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan
kebebasan untuk rakyat.”
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan angkat pada
makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan kelompok cendikiawan?
2. Peran dan fungsi kelompok cendikiawan dalam dunia
politik?
C.
Tujuan
Pembahasan
Makalah
ini bertujuan untuk:
a.
Memenuhi
tugas dari mata kuliah Perbandingan Politik
b.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan kelompok cendikiawan
c.
Mengetahui
dan memahami fumgsi dan peran Cendikiawan dalam masyarakat.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini agar kami dan pembaca lebih mengerti dan memahami fungsi
dan peran kelompok Cendikiawan dalam masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kelompok Cendikiawan
Kata
cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan
Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar,
membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai
gagasan. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah
"cendekiawan", yaitu:
1.
Mereka yang amat terlibat dalam
idea-idea dan buku-buku,
2.
Mereka yang mempunyai keahlian dalam
budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian
mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di
khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".
3.
Dari segi Marxisme, mereka yang
tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Cendekiawan
adalah orang yang memiliki ciri-ciri bermoral tinggi (termasuk di dalamnya
orang yang bergelar akademik), beriman, berilmu, ahli/pakar, memiliki kepekaan
sosial, peduli terhadap lingkungan, hati-hati penuh pertimbangan, jujur, rendah
hati, adil, dan bijaksana. Oleh beberapa pemikir sosial dan politik dijelaskan
dalam bahasa masing-masing, misalnya seperti dilakukan oleh Julien Benda, Karl
Mannheim,Bung Hatta, dan A.Gramsci, dll.
Oleh
karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan
universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal,
mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:"Belajar di universitas bukan jaminan
seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang
sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk
kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan
ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara
dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di
peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu.
Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan
juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan
ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
Menurut Julien Benda
(1867-1956) dalam karyanya La Trihason
des Clercs (1927) mengartikan cendekiawan sebagai seseorang yang dalam perhatian utamanya
mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan
metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis serta para moralis
yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme
massa. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang
menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil-hasilnya)
seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz,
Kepler, Newton, Voltair dan Montesquieu.
Mereka
menolak gairah politik dan komersialisasi, Antonio
Gramsci memberi istilah Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik.
Intelektual Tradisioanal merupakan Intelektualnya telah terkontaminasi atau
tidak lagi bersifat murni demi rakyat banyak karena tidak mampu menyampainkan
suatu kebenaran yang menjadi tugasnya karena telah terkooptasi kedalam ranah
kekuasaan. Sedangkan Intelektual organik merupakan pemikir yang dihasilkan oleh
setiap kelas secara alamiah walaupun tidak melalui jenjang-jenjang pendidikan
Formal.
Dalam
perbincangan akademis telah dibedakan antara lapisan inteligensia dengan
kelompok intelektual. Istilah pertama berasal dari Rusia (istilah itu mula-mula
diperkenalkan oleh penulis P.D.Boborykin pada tahun 1860-an) kaum inteligensia
adalah “suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang secara
profesional terlibat dalam permasalahan mental, terutama dalam bentuknya yang
kompleks dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyabaran budaya”. Definisi
ini mencakup juga ulama, seperti dalam masyarakat Islam, kedalam kelompok
inteligensia.
B. Fungsi dan Peran Kelompok Cendikiawan
Fungsi cendekiawan menurut
Sharif Shaary menegaskan bahawa
seorang "cendekiawan" bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran
tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang
benar tidak boleh netral, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia
"tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau
dibisukan".
Dalam Pidatonya Bung Hatta menggambarkan
fungsi dan peran Cendikiawan yaitu sebagai kaum intelektual yang mempunyai
tanggung jawab moril terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam
pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari
tanggungjawab itu. Sekalipun berdiri di luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat
ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan
perbaikan menurut keyakinannya.
Disini
cendekiawan harus dituntut menjadi agen perubahan dan pengontrol kebijakan
pemerintah agar selau berpihak pada rakyat kecil dan menjadi moral oracle
(orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk
menyampaikan prinsip-prinsip moral. Kaum cendikiawan mengambil jarak dengan
proses-proses politik, bukan sebaliknya menggunakan kemampuan intelektualnya
untuk mendukung kubu politik tertentu. Cendekiawan memainkan peranannya secara
profesional bebas dari keberpihakan kepentingan individual dan kelompok.
Satu-satunya keberpihakan cendekiawan adalah kepada nilai-nilai keadilan,
keobyektifan/ keapa-adaan, konsistensi, kesistematikan, kearifan, dan
nilai-nilai normatif keilmuan lainnya yang bebas dari interes-interesan.
Edward W Said lebih
menegaskan bahwa secara ideal cendekiawan mewakili emansipasi dan pencerahan,
peran cendekiawan senantiasa terikat pada dan harus tetap jadi bagian organik
dari pengalaman masyarakat, dan menolak bekerja sama dengan kekuatan yang masih
saya pandang sebagai biang penderitaan rakyat. Dosa paling besar cendekiawan
adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari
mengatakannya.
C. Pengertian Intelektual
Dalam kamus
oxford andvend learner’s dictinory orang-orang yang mempunyai kemampuan nalar
yang baik, yang tertarik pada hal-hal rohani. Ciri khas dari seorang intilektual
adalah kemampuan berpikir bebas dan mengemukaan kebenaran. Sedangkan Intelektual
dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti cerdas, berakal, dan berpikiran
jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Adapun menurut para ahli antara lain sebagai
berikut, Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan sesorang untuk
meperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan
lingkungan dan maslah-masalah yang timbul (Gunarsa,
1991). Adrew Crider (dalam
azwar, 1996) mengatakan bahwa
intelektual itu bagaikan listrik, mudah diukur tapi mustahil untuk
didefenisikan. Kalimat ini banyak benarnya. Tes intelegensi sudah dibuat sejak
sekitar delapan decade yang lalu, akan tetapi sejauh ini belum ada defenisi
intelektual yang dapat diterima secara universal.
Menurut
Alfred Binet (dalam irfan, 1986)
mengemukakan bahwa intelegensi adalah suatu kapasitas intelektual umum yang
antara lain mencakup kemampuan-kemampuan menalar dan menilai, menyeluruh,
mencipta dan merumuskan arah berfikir spesifik, menyesuaikan fikiran pada
pencapaian hasil akhir, memiliki kemampuan mengeritik diri sendiri. Sedangkan menurut
Spearman (dalam irfan, 1986;
mangkunegara, 1993) aktifitas mental atau tingkah laku individu dipengaruhi
oleh dua factor, yaitu factor umum dan factor khusus dengan kemampuan menalar
secara abstrak. David Wechsler (dalam Azwar, 1996)
mendefenisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta
menghadapi lingkungan secara efektif.
D.
Kebebasan Intelektual
a. Problema Intelektual
Ketika berbicara tentang apa problema intelektual yang
dihadapi kaum cendekiawan saat ini, maka setidaknya dapat ditemukan dua masalah
mendasar, baik disadari atau tidak. Pertama,
adalah problema keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber dari
problema epistemologi, dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai
pendekatan untuk memahami berbagai fenomena eksistensial, baik manusia (jati
diri), dan masyarakatnya (kultur), maupun alam semesta (natur). Kedua, problema moral-sosial, masalah
yang menyangkut dimensi moralitas, dan etik cendekiawan itu sendiri, bagaimana
mengaktualisasi tanggung jawab, komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya
dalam konteks kehidupan riil masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi
maupun kebudayaan.
b. Relevansi Kebebasan
Menghadapi kedua problema intelektual cendekiawan yang
diuraikan di atas, diperlukan jawaban yang satu sama lain konteksnya berbeda.
Jawaban atas problema epistemologi adalah bagaimana cendekiawan mampu
menciptakan kebebasan dalam dirinya, melalui kreativitas berpikir dan
pemikiran-pemikiran produktif sehingga ia dapat terbebaskan dari belenggu
sejarah pemikiran. Kegenitan dan kegelisahan intelektual lebih baik disalurkan
pada pemikiran alternatif, betapapun tidak ada gunanya secara politis.
Sedangkan jawaban atas problema moral-sosial
cendekiawan adalah bagaimana mereka mampu membebaskan diri dari pengaruh
tangan-tangan kekuasaan-birokratik-teknokratik. Jawaban ini berarti dengan
tetap memelihara komitmen untuk tetap berada diluar struktur lembaga kekuasaan.
Problema moral-sosial menuntut adanya cendekiawan bebas sebagai kelompok sosial
independen yang memiliki kritisme sosial. Eksistensi kelompok cendekiawan yang
bebas lepas dari praktik politik-birokratik-teknokratik ini sangat penting
sebagai perimbang kekuatan cendekiawan milik negara. Tetapi pembebasan diri
secara intelektual dan politis terhadap institusi kekuasaan saja, tidaklah
cukup.
Pembebasan secara institusional-politis perlu
dibarengi dengan pembebasan sikap kultural tertentu, dalam konteks ini
Anharudin (seorang cendekiawan muda Indonesia) menawarkan konsep hipotetik
bagaimana problema epistemologi itu dapat dipecahkan, yaitu konsep pembebaskan cendekiawan
dari belenggu sejarah pemikiran, baik berupa ilmu-ilmu pengetahuan empiris
maupun ideologi yang akan menjadi salah satu alternatif bagaimana proses
pembebasan itu dilakukan dan berarti peluang bagi setiap cendekiawan untuk
menciptakan ilmu sendiri, yang paling cocok bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Kebebasan dimaksudkan disini adalah suatu konsep yang
mengacu pada kondisi subjektif, yaitu kebebasan berpikir pada tingkat
subjektif-individual, sebagai pembiasan dari penguasaan keilmuan, kearifan,
kesadaran eksistensial dan pemahaman filosofis tentang jati dirinya, dan
tentang berbagai persoalan kehidupan. Dengan kata lain, kebebasan cendekiawan
adalah “suatu ruang kosmik dalam dirinya dimana ia dapat bebas untuk berpikir
dan berpikir bebas”. Itu berarti bahwa dalam dunia ini cendekiawan dapat,
boleh, dan bisa untuk tidak lagi terjerat oleh perangkap-perangkap kelembagaan
dan normatif masyarakat. Ia boleh dan bebas dari norma-norma, baik norma
sosial, agama,maupun budaya.
Dalam dunia ini cendekiawan dapat berenang bebas,
mengembangkan pemikiran baru, menciptakan kebenaran dan nilai-nilai baru,
mempertanyakan kembali makna kebenaran yang telah mapan dan dianut oleh
orang-orang kebanyakan. Jadi, pada tingkat awal misi
cendekiawan adalah membebaskan dirinya dari fragmentasi dunia dan ketidakmasuk
akalan eksistensi dirinya. Kemudian setelah itu, misi cendekiawan adalah
membebaskan orang lain secara berlahan dari kemelut dan belenggu dunia
keterbatasan, menuju dunia kebebasan yang sama.
E.
Tanggung Jawab Kelompok Cendikiawan
Menurut Mohammad Hatta, seorang
cendekiawan dengan sendirinya memikul tanggung jawab yang besar, lebih besar
dari golongan masyarakat lainnya, karena kualitasnya sebagai yang terpelajar.
Cendekiawan memiliki kemampuan untuk menguji yang benar dan yang salah dengan
pendapat yang beralasan berdasarkan ilmunya. Disini kaum intelegensia unggul,
pertama-tama karena keterpelajarannya, tapi ilmu itu sendiri yang memberi
kualitas kepada keterpelajarannya, tidak hanya terdiri dari keterampilan dan
kecanggihan berolah pikir. Ilmu, secara instrinsik mengandung nilai-nilai
moral. Karena itu, maka kaum intelegensia juga memiliki tanggung jawab moral,
selain intelektual. Moralitas itu berkaitan dengan keselamatan masyarakat,
tidak saja sekarang tetapi juga kemudian.
Menurut Hatta dengan mengutip Julien
Benda, contoh perwujudan tanggung jawab yang dimaksud yaitu, ”Memberi petunjuk
dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan dan bukannya
malahan menyerah diri kepada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan
kepentingan mereka masing-masing”.Dan merupakan salah satu ciri pokok
kecendikiawanan adalah keterlibatannya. Cendekiawan adalah golongan yang
berpikir, karena rasa keterlibatannya, sebaliknya keterlibatannya tak
terpisahkan dari keberpikirannya. Berikut ini tanggung jawab kelompok
cendikiawan:
a.
Ideologi dan Tradisi
Intelektual yang berpendapat bahwa dunia dapat diterangkan secara rasional,
dapat pula diubah selama ia masih rasional. Hal ini menjadi penting bila
dibandingkan dengan semangat konservatif, yaitu semangat melindungi suatu
tatanan atau nilai-nilai dengan alasan bahwa itulah yang terbaik hingga saat
ini, atau bahkan selamanya. Tatanan atau nilai-nilai yang dijadikan idola
tersebut dikemas dalam suatu sistem pemikiran yang disebut ideologi. Sikap
ideologis bukan berarti tanpa pemikiran rasional, ideologi-ideologi besar yang
dikenal dalam sejarah peradapan manusia, semua memiliki rationale yang mendalam dan filosofis.
Masalah yang dihadapi ideologi ini, dalam kaitannya dengan intelektualisme
adalah keengganannya untuk berubah. Dan agama bukanlah satu-satunya sumber
ideologis, karena masih ada tradisi serta ideologi kenegaraan. Tradisi tidak
harus mengacu kepada sistem nilai atau pemikiran tertentu yang komprehensif,
tetapi dapat berupa adat istiadat yang mengatur tingkah laku orang dalam
peristiwa-peristwa tertentu secara sporadis. Misalnya, ketentuan dengan siapa
orang tidak boleh kawin atau basarnya mas kawin. Sementara yang dimaksud dengan
ideologi kenegaraan adalah hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut
Undang-Undang Dasar dan doktrin resmi pemerintah.
Sikap ideologis kebanyakan masyarakat, pada gilirannya juga bukan tanpa
pembenaran rasional, seperti yang dikandung agama-agama dan ideologi negara.
Namun, yang ingin ditekankan adalah kecenderungan untuk berhenti berpikir
rasional atas dasar doktrin ideologis, yang pada akhirnya tidak boleh atau
tidak berani berpikir lebih lanjut karena akan membahayakan ideologi tersebut.
Apabila konflik antara intelektulisme dan ideologi memang menyangkut yang
sedemikian mendasar, seperti cara berpikir ilmiah dan ideologis, maka ada dua
kemungkinan penyebabnya. Pertama, perkembangan
kebudayaan belum mencapai tingkat dimana masyarakat mampu dan memilih untuk
berpikir ilmiah. Kedua, masyarakat
memang memilih berpikir ideologis untuk membela agamanya, karena takut membuat
kesalahan dan akibatnya dihukum Tuhan.
b.
Perubahan Masyarakat
Dengan
asumsi bahwa intelektual bekerja secara jujur, dan untuk kepentingan masyarakat
banyak, maka kehadiran mereka sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena
perubahan masyarakat yang terus-menerus terjadi, dan tidak pernah dicegah oleh
ideologi negara maupun agama, memerlukan bimbingan intelektual agar tidak
menimbulkan kekacauan. Akan menjadi sangat ironis apabila negara dan agama
membiarkan perubahan tata kehidupan terus berlangsung, tetapi tidak menyodorkan
jalan keluar bagi masalah-masalah yang ditimbulkannya.
Dalam
konteks pemikiran keagamaan, peranan intelektual diperlukan karena Tuhan tidak
lagi menurunkan petunjuk-petunjuk baru. Karena itu, apabila agama menolak
peranan intelektual, berarti ia tidak bertanggaung jawab terhadap perubahan
masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, agama akan justru menjadi bagian dari
masalah sosial. Pada kenyataaannya, agama Islam cukup tanggap terhadap masalah
sosial yang timbul terhadap masalah sosial yang timbul dalam kehidupan modern
sekarang, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan atau ekonomi Islam.
Kemudian,
yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada perbedaan subtansial dan berimplikasi
praktis, bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan ekonomi bukan-Islam.
Bila perbedaan itu tidak ada, maka upaya itu hanya menjadi simbol sikap
apologetis dan eksklusivisme orang Islam.
F.
Konteks
Cendekiawan
Cendekiawan
sendiri bukan hanya terfragmentasi dalam hal yang berkaitan dengan fungsi dan
peranannya ditengah kepentingan umum dan kebaikan masyarakat, namun demikian
halnya saat membicarakan cendekiawan dalam konteks posisi dan keberadaannya
ditengah masyarakat.
a. Cendekiawan
Terpisah
Cendekiawan
yang memisahkan diri adalah mereka yang muncul melampaui kepentingan diri
sendiri dan berbicara bagi kepentingan umum, membuat pertimbangan politis dan
kultural atas dasar prinsip-prinsip universal bukan atas dasar prinsip-prinsip
yang telah dikaburkan oleh kelas, status, dan kekuasaan.
Dalam arti
ini, “pendidikan” yang diberikan oleh cendekiawan itu mengangkat publik keluar
dari suatu anonimitas dan partikularitas, untuk masuk ke dalam diskursus
universal, adalah para profesional dalam peran mereka sebagai cendekiawan yang
memisahkan diri untuk memberikan kriteria penilaian mengenai apa yang merupakan
masalah-masalah sosial, dan dari masalah itu, kemudian menjadi tugas
cendekiawan yang berperan sebagai pakar, memberikan perbaikan terhadap masalah-masalah
itu, supaya masyarakat dapat memecahkannya sendiri dengan bantuan para
profesional.
Sebagai
suatu pembentuk opini publik yang bertanggung jawab secara moral, cendekiawan
yang memisahkan diri lalu terkait pada publik yang melalui itu perannya dibentuk,
keduanya baik cendekiawan maupun publik, saling bergantung satu sama lain akan
tetapi relasi ini tidaklah simetris. Oleh karena ada kecenderungan selain
idealisme dan pertanggungjawaban moral yang mendasari cendekiawan yang
memisahkan diri itu; “kepentingan diri sendiri”- sebagai suatu kelompok
profesional kelas menengah.
b. Cendekiawan
Pergerakan
Cendekiawan
pergerakan dibentuk dalam relasi yang langsung dengan publik, suatu interaksi
yang sedikit banyak langsung berhadapan dengan publik yang telah dikenal.
Relasi itu akrab dan langsung, yang dalam istilah Gramsci disebut sebagai
relasi organis. Baik cendekiawan maupun publik eksis tidak dalam perbedaan
mencolok satu dengan yang lainnya, yang satu akan segera menarik perhatian yang
lain. Jadi, cendekiawan pergerakan berbicara dalam mode kolektif, untuk dan
bagi kolektif; cendekiawan publik dilain pihak berbicara secara individu,
meskipun pada saat menjelaskan apa yang dalam editorial dan forum akademik
digunakan kata “kita”.
c. Cendekiawan
Aristokratik
Mereka
adalah para cendekiawan yang mencoba melawan perkembangan-perkembangan bentuk
kesusastraan populer seperti surat kabar harian dan majalah mingguan dengan
adanya kemungkinan-kemungkinan komersialisasi, karena semakin meluasnya publik
penbaca dan pendidikan formal, dengan cara melalui pers persseorangan/swasta
dan jurnal-jurnal sastra yang serius tapi sirkulasinya kecil. Mereka juga
mempunyai relasi yang erat dengan publik. Mereka berbicara kepada dan menulis
untuk para calon anggota dalam kelompok kecilorang terdidik, apakah itu
kelompok elite yang tradisional ataukah garda depan radikal. Dengan kelompok
seperti itulah cendekiawan aristokratis berbagi nilai-nilai estetika umum,
kiasan-kiasan umum pula; pelestarian atau pembaharuan budaya (tinggi).
G.
Cendikiawan
Dan Kekuasaan
Disini perlu dijelaskan bahwa ada kaitannya antara cendikiawan dan
kekuasaan yang pada akhirnya menentukan arah sebuah kebijakan pemerintah.
Banyak dari para pemikir yang justru ragu akan ke kritisan dan kepedulian para
intelektual atau cendikiawan ketika mereka menduduki suatu jabatan di
pemerintah. Di situ kemungkinan besar kaum intelektual kehilangan spirit dan
karakternya yang khusus, yaitu sebagai orang-orang yang bertanya dan kritis.
Terlihat kecenderungan di mana peran para cendikiawan itu berubah menjadi
pelaksana-pelaksana tertentu dari sebuah mesin politik yang besar . Di sana dia
bisa berperan menjadi seorang teknokrat , birokrat atau professional. Ada pula
kemungkinan mereka melakukan kompromi politik terhadap suatau kebijakan yang
tidak berpihak pada masyarakat ramai, sehingga ruang gerak untuk melakukan
wacana intelektual menjadi sempit dan terbatas. Padahal wacana semacam itu bisa
mengikutsertakan keseluruhan masyarakat serta menjadi sarana bagi pendidikan
politik mereka . Kehadiran kaum cendikiawan dalam ranah politik kecil
kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini akan
membuatnya tenggelam, sekedar menjadi kaki tangan kekuasaan politik alias budak-budak
kekuasaan (servants of power).
Itulah salah satu alasan dari
Soedjatmoko mengatakan bahwa bagaimanapun para cendikiawan harus tetap berada
di luar kekuasaan, agar mereka tidak terkooptasi kedalam ranah kekuasaan yang
pada akhirnya menjauhkan merekan dari membela rakyat menjadi membela partai
politik yang di ikutinya. Takbisa terhindarkan mereka akan melegitimasi
kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut merugikan atau menguntungkan
masyarakat umum. Sebaliknya jika posisi mereka bebas atau diluar sistem atau
pemerintah maka dengan posisi yang bebas itulah, seorang intelektual memiliki
kekuatan (daya tawar) untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat
pemerintah. Posisi seorang intelektuak adalah diatas menara yang paling tinggi
yang tak boleh terjangkau oleh siapaun, kecuali dirinya sendiri. Artinya, bahwa
siapapun tidak boleh mempengaruhi apalagi membeli pemikiran seorang intelektual
dalam menyampaikan kebenaran.
H.
Tugas
Cendekiawan?
Seperti dijelaskan dimuka, kelemahan
memandang cendekiawan sebagai menara gading gading, oposisi biner terhadap
kekuasaan dominatif dan status quo menghilangkan makna-makna pergerakan di
masyarakat yang justru melihat proyek neolib dalam posisi berhadap-hadapan.
Potret kreatifitas kelompok seperti sedulur sikep sebagaimana di atas, dan
potret kredit union seperti di Kalimantan Selatan memperlihatkan wajah baru
gerakan akar rumput. Bagi kalangan gerakan sosial seperti NGO, usaha
perekonomian nyaris masih dipandang sebelah mata. Gerakan ekonomi sebagian
besar masih dilihat sebagai kapitalisme yang jahat, berbeda dengan sifat
voluntaristik mereka yang dianggap sebagai usaha nirprofit
Cendekiawan jika masih mengacu
seperti disampaikan oleh Edward.W Said juga masih menunjukkan seolah-olah kerja
“amatiran (amateur) dipandang
secara oposisional dengan kerja profesional. Bagi kerja-kerja neolib, tidak ada
kerja amatiran, sementara cendekiawan yang masih merasa memiliki anugerah untuk
melakukan kerja-kerja gagasan seringkali menghindari bahkan mencerca apa yang
sering disebut sebagai sikap kerja profesional. Menunjuk kepada dua kasus yang
dikemukakan di atas, sikap oposisi biner ini tidak berlaku. Di Sedulur Sikep,
dan Dayak Kaharingan Kalimantan Selatan, gerakan pengorganisasian massa-rakyat
dapat berbarengan dengan kerja-kerja profesional.
Jadi Poin terakhir ini pada dasarnya
lebih menekankan pentingnya melihat gelombang kekuatan akar rumput yang semakin
terfragmentasi berhadapan dengan gelombang besar neoliberalisme. Kata kunci
dari poin ini adalah diperlukan sebuah pemahaman yang lebih baik dan
komprehensif mengenai dilema-dilema yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di
arus bawah dan potensi-potensinya sebagai gerakan perlawanan. Fakta ini tidak
lantas mengurangi seluruh keanekaragaman potensialitas yang dimiliki
masing-masing kelompok akar rumput di Indonesia. Sementara itu, untuk melihat
kinerja gerakan akar rumput harus bisa menambah informasi mengenai
gerakan-gerakan global sebagaimana diutarakan diatas. Saya kira tugas
kecendekiawanan berada di areal ini. Ini adalah sikap untuk menghubungkan
kebutuhan riel yang kini dirasakan oleh masyarakat akar rumput dengan seluruh
konstelasi global yang terjadi saat ini. Dengan berani melakukan pemetaan
bersama secara kritis barangkali akan terjadi usaha-usaha yang lebih berdampak
luas. Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, disiplin ilmu politik,
sosiologi, antropologi dan hukum harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam
payung lintas disiplin. Pengertian mengenai komunitas-komunitas tradisional
harus kita lepaskan dari jebakan perspektif yang dipenuhi prasangka. Faktanya
apa yang sering kita nyatakan sebagai tradisional tidaklah berarti mengacu
kepada sekumpulan orang yang terisolasi, konservatif dari berbagai segi dan
sama sekali menolak perubahan-perubahan baru.
Cara lama dalam melihat kompleksitas
masyarakat di wilayah akar rumput segera kita hilangkan. Misalnya kajian
mengenai kekuatan-kekuatan komunal saat ini lebih dilihat semata-mata sebagai
cermin kebodohan, ketidaktahuan suatu komunitas berhadapan dengan kekuatan
eksternal vis a vis kemajuan dan modernitas. Faktanya, kelompok-kelompok ini
memiliki potensi berkembang secara dinamis, berdiri diantara kekuatan-kekuatan
komunal yang terjaga sambil secara lentur melakukan perubahan internal untuk
menjawab tantangan-tantangan baru. Misalnya seperti ditunjukkan oleh gerakan
petani Samin, “Pembangkangan” yang pernah mereka lakukan selama akhir abad
ke-19, terhadap pemerintahan kolonial menjadi referensi yang mereka hidupkan
secara turun menurun dan sumber bersama mengatasi penetrasi-penetrasi eksternal.
Cara, sikap hidup dan norma-norma bersama yang mereka pertahankan sampai hari
ini membuktikan keliatan sosok petani di Indonesia, khususnya di Jawa.
Kajian seperti James T. Scott memang
memandang siasat dan resistensi sebagai senjata orang-orang kalah. Kritik
terhadap Scott lebih diutarakan sebagai romantisasi perlawanan, dengan
mamandang seolah-olah orang kalah masih memiliki harapan untuk bertahan dan
mempertahankan posisinya. Akan tetapi Scott yang terlampaui romantis menepikan
fakta bahwa pada dasarnya gerakan modal yang beraliansi dengan negara
sekonyong-konyong tidak dapat menaikkan derajat orang-orang kalah ke dalam
kelas yang lebih tinggi. Akan tetapi gagasan Scott bagaimanapun memberi
perspektif baru dalam menginvestigasi secara antropologis geliat-geliat politik
akar rumput. Keharusan bagi cendekiawan menurut saya adalah melihat secara
lebih investigatif dan etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan
untuk meninggikan derajat mereka lebih manusiawi. Kedengarannya memang cukup
romantis, akan tetapi jika praktik ini dilakukan dengan serius, dengan
sendirinya akan membawa sejumlah implikasi teorititik yang tidak sedikit. Ilmu
sosial bagaimanapun adalah kuasa baru yang tidak lagi dipandang sebagai
pengetahuan netral. Kuasa ilmu sosial memberi legitimasi, dan inspirasi, ia
juga bisa menjadi bagian dari “sikap apriori” dan aposteriori yang dapat
melanggengkan status quo maupun merubah kondisi yang sudah mapan. Jadi
masalahnya sekarang mau dibawa kemanakah ilmu sosial bagi perubahan sosial saat
ini?
I. Cendekiawan dan Gejolak Politik
Para
cendekiawan bisa mempengarhui perpolitikan dalam negeri, Mata kita
jangan hanya tertuju kepada politikus saja, karena gerak kaum cendekiawan selalu
terkait gejolak kekuasaan. Apalagi, posisi cendekiawan sangat strategis,
dikagumi masyarakat karena sumbangsih pemikirannya, sekaligus dicari politikus
untuk memperkuat jaringan kekuasaan. Politik 2015 menjadi arena strategis kaum
cendekiawan di tengah gejolak politik yang makin seru dan seksi ini.
Sejatinya, di tangan cendekiawan,
dalam pandangan Yudi Latif (2005), tanggung jawab menyelamatkan bangsa ini
disandarkan. Tanggung jawab cendekiawan adalah menstransformasi populisme dari
kesadaran diskursif menjadi kesadaran praksis. Problem kehidupan kita adalah
keterbelakangan rakyat dan keengganan kaum elite membebaskan diri dari masa
lalu dan status quo. Politisasi
masa lalu dan mistifikasi status quo harus
dihentikan demi memberi jalan teriptanya rekonsiliasi dan rekontruksi nasional.
Inilah saatnya bagi cendekiawan Indonesia dari berbagai kelompok menuju
panggilan sejarah bersama Untuk melayani dan menyelamatkan bangsa.
Begitu besarnya peran para cendekiawan. Namun,
kaum mereka justru sedang mengalami krisis eksistensial mendalam. Krisis
eksistensial ini tidak bisa dilepaskan organisasi kaum cendekiawan sering
mendapatkan sokongan dari politik kekuasaan. Gus Dur pernah mengkritik keras
perilaku cendekiawan yang tergabung dalam ICMI karena telah berselingkuh dengan
kuasa Orde Baru.
Cendekiawan harus meneguhkan kembali
perannya sebagai problem solver terhadap
kondisi kebangsaan, namun juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam
menumbuhkan iklim intelektualisme masyarakat bangsa. Hal ini sangat penting,
karena sistem berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya
citra. Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’i
(2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, ia akan terjebak hegemoni orang
lain karena tingkah laku seharinya dipasung citra yang dibangun bangsa lain.
Dikarenakan ia dipasung, gerak langkah kehidupannya secara universal telah
ditaklukkan hegemoni citra budaya lain. Inilah yang terjadi dalam bangsa
Indonesia.
J. Gejolak
Politik 2015
Salah satu tantangan serius kaum
cendekiawan adalah gejolak politik Pilkada serentak 2015. Sudah banyak doktor
dan profesor yang terjerat kasus korupsi. Ini bukti integritas dan moralitas
kaum cendekiawan sudah tergadaikan. Kaum cendekiawan juga sudah banyak yang
berlabuh dalam pusaran politik kekuasaan dari serius dan tekun dalam dunia
pendidikan. Terbukti, kaum cendekiawan sudah sibuk dengan jabatan di birokrasi
dan jabatan kampus, sehingga tugas “ngampus” sering ditinggalkan dan diabaikan
begitu saja. Nikmat dalam pusaran politik kekuasaan menjadikan kaum cendekiawan
semakin jauh dengan dunianya sendiri. Ia terasing dengan dunia akademik dan
pengabdian masyarakat, sehingga ketika sibuk dalam pusarakan politik, mudah
sekali ia melalaikan integritas akademiknya.
Korupsi menjadi kebiasaan, hilangnya
moralitas sudah tak dihiraukan. Dalam konteks inilah, ada dua hal pokok yang
menjadi sebuah pertanggungjawaban kaum cendekiawan. Pertama, membawa kembali
doktrin agama sebagai pembebas. Oleh karena cendekiawan identik dengan kaum
pencerah, sudah saatnya kaum cendekiawan menghadirkan tradisi intelektualnya
sebagai kekuatan sosial-revolutif.
Cendekiawan harus berani bergerak
melawan kampanye hitam dan runtuhnya etika politik. Dalam mengadang laju
hegemoni globalisasi, cendekiawan harus mampu mengimplementasikan ajaran
ilmunya tersebut untuk membangun moralitas manusia global. Dengan adanya etika
sosial yang hadir ditengah globalisasi, kesenjangan ekonomi bisa diminimalkan,
bahkan dngan konsep-konsep kesederhanaan dan kedermawanan. Manusia global yang
mempunyai etika sosial keagamaan akan mampu membuka ruang publik (public sphere) yang progresif dan
solutif. Kedua, menyangkut problem kebangsaan. Dalam beberapa tahun terakhir,
menunjukkan kaum cendekiawan banyak terlibat kejahatan bernama korupsi. Bahkan,
seorang rektor juga terlibat dalam penggelapan uang negara. Kalau demikian, di
manakah posisi cendekiawan? Jawabannya, bagi penulis jelas.
Cendekiawan harus hadir melakukan
gerakan baru yang lebih profesional. Selama ini gerakan kaum endekiawan lebih
mengarah pada hal-hal yang bermisi keimuan saja. Sekarang sudah saatnya
melebarkan sayap dalam bergerak untuk melakukan asosiasi menentang korupsi.
Cendekiawan dalam konteks ini jangan segan-segan melakukan statement kritisnya terhadap
kebijakan negara menyangkut korupsi. Cendekiawan juga harus berani terjun ke
bawah, memberikan pencerahan bagi kaum birokrat dan rakyat tentang masa depan
Indonesia tanpa korupsi. Dua hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial yang
harus segera diperhatikan kaum cendekiawan.
Sebagaimaa yang dikatakan Gramsci
(1971), faktor penentu apakah ia dikatakan sebagai cendekiawan atau seorang
pekerja manual terletak dalam “fungsi sosial”-nya. Fungsi sosial dapat dipahami
cendekiawan sebagai sebuah bagian integral dari matrialitas yang konkret dari
proses-proses yang membentuk masyarakat. Fungsi sosial kaum cendekiawan, dalam
hal ini terletak pada fungsinya sebagai perumus dan artikulator bagi
problematika kehidupan yang melilit kemanusiaan universal dewasa ini. Dalam
analisis Machiavelli—melalui karya termasyhurnya The Prince—peran kaum cendekiawan
dalam perubahan yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) (Garon, 2003).
Nabi-nabi ini tak lain adalah individu-individu di luar negara yang berupaya
dan berperan membuka keran-keran ruang kebebasan publik. Mereka merupakan individu
yang peduli untuk berjuang menantang aturan lama dan mempromosikan institusi
politik baru, kendati mereka tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan
dan tidak memiliki tentara (no policy,
no army). Meski minoritas, kaum
cendekiawan harus berani membuka mata dunia, menyebarkan ide-ide baru untuk
melakukan perubahan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Disini cendekiawan harus dituntut
menjadi agen perubahan dan pengontrol kebijakan pemerintah agar selau berpihak
pada rakyat kecil dan menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral)
sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip
moral. Kaum cendikiawan mengambil jarak dengan proses-proses politik, bukan
sebaliknya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mendukung kubu politik
tertentu. Cendekiawan memainkan peranannya secara profesional bebas dari
keberpihakan kepentingan individual dan kelompok. Satu-satunya keberpihakan
cendekiawan adalah kepada nilai-nilai keadilan, keobyektifan/ keapa-adaan,
konsistensi, kesistematikan, kearifan, dan nilai-nilai normatif keilmuan
lainnya yang bebas dari interes-interesan.
Cendekiawan harus meneguhkan kembali
perannya sebagai problem solver terhadap
kondisi kebangsaan, namun juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam
menumbuhkan iklim intelektualisme masyarakat bangsa. Hal ini sangat penting,
karena sistem berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya
citra. Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’i
(2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, ia akan terjebak hegemoni orang
lain karena tingkah laku seharinya dipasung citra yang dibangun bangsa lain.
Dikarenakan ia dipasung, gerak langkah kehidupannya secara universal telah
ditaklukkan hegemoni citra budaya lain. Inilah yang terjadi dalam bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Editor
Masika. 1996. KEBEBASAN CENDEKIAWAN, Yogyakarta; Yayasan bentang budaya
dan pustaka Republika.
Eyerman,
Ron. 1996. CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Jakarta; Yayasan Obor
Indonesia.
Feith, Herbert dan L. Castles. Ed. 1988. “Pengantar”, dalam Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES,
pp.xil-lxvii
Ron Eyerman,
CENDEKIAWAN antara BUDAYA dan POLITIK, Yayasan Obor Indonesia, 1996….hlm
142-149